Senja itu, dia datang dengan sebuah senyuman yang terasa datar didepanku.
Dengan basah kuyub dan sehelai kaos tipis yang dia kenakan, aku merasa seperti akan ada hal yang menakutkan terjadi antara kami. Tapi aku coba tepis jauh-jauh pikiran itu dari benakku, segera aku mengambil sebuah handuk kering untuknya.
"Kenapa tidak menghubungiku dulu? Kan aku bisa jemput kamu (mengeringkan rambut Ahva yang basah)."
"Aku hanya ingin menemuimu tanpa harus melihatmu seperti aku."
"Seperti kamu bagaimana? Basah? Aku akan bawa payung va..."
"(Tersenyum)."
"Lain kali jangan pernah ragu menghubungiku jika kamu butuh aku va."
Seperti itulah Ahva, dia adalah pacarku sejak semester satu perguruan tinggi. Dia yang sangat menyayangiku dan mencintaiku bagaimanapun gilanya aku bersikap, dia yang selalu sabar, dan tak pernah marah padaku. Terkadang aku sangat jengkel padanya karena tak pernah sama sekali memarahiku. Terkadang aku merasa dia hanya menjadikanku sebuah stupa yang sangat ia kagumi bagaimanapun bentuknya. Aku tidak bisa seperti itu, aku penuntut, aku butuh arahan untuk hidupku, jangan pernah abaikan aku, atur aku, jangan mencintaiku apa adanya.
"Gel, maaf selalu membuatmu jengkel."
"hahaha, sudah biasa seperti itu va, dan aku mencintaimu."
Ya, benar. Aku sudah sangat gila mencintai Ahva yang gila. Dia bagaikan daun yang jatuh berguguran di musim semi, indah meskipun akan mengotori semua tanah. Dia tulus meskipun selalu berbuat hal aneh dengan semua sikapnya. Tapi aku mencintainya, Ahva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar